Golkar hingga PPP Pernah Alami Perpecahan Seperti Partai Demokrat Saat Ini PKB PDIP

Kekisruhan politik jadi persoalan yang kerap mendera tempat para politikus bekerja. Perpecahan internal yang berujung pada dualisme kepemimpinan tampak wajar dialami. Tahun 2021 ini, Partai Demokrat merasakan kekisruhan yang sama dengan parpol politik besar lainnya.

Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB), Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan ( PPP). Keempat parpol tersebut pernah merasakan perpecahan yang sama, seperti yang dialami PartaiDemokrat saat ini. Dalam artikel ini terdapat kilas balik sederet parpol besar Indonesia yang pernah mengalami kekisruhan berujung pada dualisme kepemimpinan.

Ya, api konflik di tubuh PartaiDemokrat kian memanas usai Moeldoko terpilih sebagai ketua umum melalui Kongres Luar Biasa (KLB). KLB yang berlangsung pada Jumat (5/3/2021) di Deli Serdang, Sumatera Utara itu digelar oleh pihak yang kontra dengan kepemimpinan Ketua Umum PartaiDemokrat AgusHarimurtiYudhoyono ( AHY). Dengan hasil KLB tersebut, maka PartaiDemokrat kini terpecah menjadi dua, yaitu di bawah AHY dan Moeldoko.

Kondisi ini memperpanjang catatan sejarah partaipolitik di Indonesia yang pernah terpecah, berikut daftarnya: Perpecahan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia ( PDI) bermula ketika 16 fungsionaris DPP PDI menyatakan akan melaksanakan kongres PDI guna memisahkan diri dari kepengurusan Megawati. DPP PDI pun langsung memecat 16 fungsionaris itu karena secara sepihak mengadakan kongres yang bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tanggah (AD/ART) PDI.

Meski demikian, kongres di Medan tetap berjalan dan menunjuk Wakil Ketua MPR/DPR Soerjadi sebagai ketua umum, dikutip dari Harian Kompas, 22 Juni 1996. Melalui staf sosial politik ABRI saat itu, Letjen Syarwan Hamid, pemerintah mengakui DPP PDI hasil Kongres Medan tersebut. Artinya, pemerintah juga tidak akan mengakui adanya tandingan atau DPP PDI pimpinan Megawati.

Dualisme PDI ini kemudian berujung pada peristiwa mencekang yang terjadi pada 27 Juli 1996 atau dikenal dengan "Kudatuli" (Kerusuhan 27 Juli) dan memakan korban jiwa. Peristiwa Kudatuli berawal dari upaya pengambilalihan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta. Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia mencatat, kerusuhan itu mengakibatkan 5 orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang.

Mengutip Harian Kompas, 13 Oktober 1996, kerugian materiil akibat peristiwa tersebut diperkirakan mencapai Rp 100 miliar. Perpecahan di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bermula ketika GusDur mencopot Muhaimin Iskandar dari jabatan sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB. Dari 30 orang yang hadir, 20 orang memilih opsi agar Muhaimin mundur, 5 orang mendukung agar digelar Muktamar Luar Biasa (MLB), 3 suara menolak MLB, dan 2 abstain.

Akibat pemecatan itu, Muhaimin menggugat Gus Dur ke PN Jakarta Selatan. PKB pimpinan KH Abdurrahman Wahid menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB) di Ponpes Al Asshriyyah, Parung, Bogor. MLB ini menghasilkan keputusan GusDur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB dan Ali Masykur Musa sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz.

Menyusul MLB Bogor, giliran PKB kubu Muhaiman menggelar MLB di Hotel Mercure Ancol. Hasilnya, Muhaimin ditetapkan sebagai Ketua Umum PKB, sementara KH Aziz Mansyur ditunjuk sebagai Ketua Dewan Syuro. Laksono Pada 2014 lalu, Partai Golkar juga memiliki dua kepengurusan, yaitu hasil Munas Bali dengan terpilihnya Aburizal Bakrie dan hasil Munas Ancol yang mengukuhkan Agung Laksono sebagai ketua umum.

Munculnya dua kepengurusan ini diyakini karena Munas Bali dilakukan secara tidak demokratis. Pada Munas Bali, beberapa calon ketua umum Partai Golkar, seperti Airlangga Hartarto dan Hajriyanto mengundurkan diri. Pada Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan surat keputusan yang mengesahkan Golkar kubu Agung Laksono.

Saat itu, Golkar kubu Agung memang menyatakan dukungan untuk pemerintahan Jokowi Jusuf Kalla. Sementara Golkar kubu Aburizal memilih sebagai oposisi. Namun, konflik tak berhenti pasca keluarnya SK Menkumham. Kubu Aburizal menggugat SK tersebut ke PTUN.

Sejak saat itu terjadi konflik berkepanjangan antara dua kubu, seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 5 Agustus 2020. Dualisme tersebut akhirnya berakhir ketika kubu Aburizal dan Agung sepakat untuk berdamai dan bersama sama menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa pada pertengahan tahun 2016. Perpecahan di partai berlambang Kabah ini bermula ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Umum PPP saat itu, Suryadharma Ali sebagai tersangka korupsi dana penyelenggaraan haji.

Pengurus Pusat yang diinisiasi Romahurmuziy atau Rommy sebagai sekretaris jenderal saat itu memecat Suryadharma. Namun Suryadharma tak terima dan balik memecat Rommy. Kubu Rommy kemudian menggelar Muktamar di Surabaya.

Hasilnya, Rommy terpilih sebagai ketua umum. Sementara kubu Suryadharma juga menggelar Muktamar di Jakarta dan memilih Djan Faridz sebagai ketua umum. Dalam hal ini, pemerintah lebih memilih mengesahkan PPP yang dipimpin oleh Rommy dan diakui sebagai peserta Pilkada 2017.

Konflik di tubuh PPP perlahan mulai melunak setelah Rommy ditangkap KPK pada Maret 2019 dan digantikan oleh Suharso Monoarfa. Anggota PPP kubu Djan Faridz perlahan lahan mulai mengakui dan melebur ke PPP pimpinan Suharso.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *